Jumat, 10 Maret 2017

Sebuah Perjalanan

“Kriiingg…..” Bunyi bel terdengar ke seluruh penjuru Sekolah Dasar Negri Lebakjaya II pertanda jam istirahat sudah dimulai. Para siswa bersorak gembira, menyambutnya dengan sukacita. Ada yang berlarian menuju kantin sekolah. Ada yang bermain sepakbola di lapangan. Ada yang bermain kucing-kucingan petak umpet dan permainan-permainan anak yang lainnya.
Di saat teman-teman sekelasnya bermain gembira, Ahmad hanya duduk terdiam di tempat duduknya. Dia sendirian di ruang kelas V A. Tak henti-hentinya dia memandangai dan membolak-balik kertas hasil ulangan matematikanya yang tadi dibagikan oleh Bu Tika. Sedih hatinya karena dia mendapatkan nilai yang jelek, bahkan yang paling jelek di kelasnya.
 ****
Pagi itu sekitar pukul 09.30. Di kelas V A sedang berlangsung pelajaran matematika yang diajar oleh Bu Tika.
“Ahmad, kamu itu gimana? Teman-teman yang lain mendapat nilai diatas lima puluh semua. Tapi kamu sendiri kok Cuma dapat nilai dua puluh? Kenapa? Gak belajar, ya?” Omel Bu Tika kepada Ahmad.
“Iya, Bu. Malamnya saya ketiduran, Bu. Jadinya gak sempat belajar.”
“Ibu kan sudah memberi tahu kalau kemarin itu ulangan dari dua minggu yang lalu.”
“Iya, Bu. Maaf. Tapi walaupun nilai saya jelek, itu adalah murni hasil kerja saya sendiri, Bu. Saya gak mau nyontek kayak temen-temen yang lain.”
“Emangnya temen-temen yang lain nyontek?”
Mendengar Ahmad berbicara seperti itu, Ubed, premannya kelas V A angkat bicara, “Ahmad bohong, Bu. Kami semua ngerjain soal sendiri kok. Gak ada yang nyontek. Iya kan temen-temen?”
“Iya Bu. Ubed benar. Heh Mad, jangan asal nuduh gitu dong!” Abdul, teman sebangku Ubed ikut bicara.
“ Heh…! Sudah-sudah. Gak usah ribut. Ahmad, lain kali kamu harus lebih giat lagi belajar, ya!”
Ahmad hanya mengangguk lemas. Terasa sesak dadanya setelah mendengar ucapan-ucapan dari guru dan teman-temannya. Padahal Ahmad benar. Dia tidak mau bekerja sama mengerjakan soal walaupun teman-teman yang lain melakukan hal itu. Bahkan ketika Rahman, teman sebangkunya menawarinya jawaban, dia menolaknya. Dia lebih memilih mengerjakan soal sendiri walaupun sebenarnya dia tidak terlalu bisa karena dia tidak belajar sebelumnya.
Ahmad selalu ingat nasehat almarhumah Ibunya yang menyuruhnya untuk berusaha menjadi orang yang jujur dan bisa membanggakan orang tua. Dia juga anak yang selalu menuruti apapun yang diperintah oleh ayah tercintanya. Bahkan di umur sekecil itu, Ahmad sering membantu Ayahnya bekerja di sawah.

 ****
Ahmad masih terdiam di trempat duduknya. Dia masih sendirian sampai Ubed, Abdul dan Juned masuk ke kelas dan mendekatinya.
“Eh, Mad. Kamu ngapain tadi bilang ke Bu Tika kalau kami semua nyontek, hah? Berani ya sama aku?” Ubed membentak Ahmad.
“Iya! Kamu jadi orang jangan sok, Mad! Diajak kerjasama gak mau. Lihat kan hasilnya?” Abdul semakin memojokkan Ahmad.
“Aku mau jadi orang jujur, Dul. Lebih baik aku mendapat nilai 20 daripada kamu yang dapat nilai 90 dari hasil nyontek.”
“Alaah… Banyak omong, kamu!” Kata Juned sambil menempeleng kepala Ahmad.
Ahmad tidak bisa lagi menahan emosinya. Dia berdiri dan mendorong Juned hingga jatuh.
“Heh! Berani kamu ya sama temenku!” Ubed balas mendorong dan memukul wajah Ahmad. Ahmad membalas lagi dengan satu pukulan. Sementera Juned dan Abdul pun ikut bergabung mengeroyok Ahmad. Perkelahian pun terjadi. Satu lawan tiga, jelas Ahmad yang kalah. Untungnya ada teman sekelasnya yang segera setelah melihat kejadian itu melapor kepada guru. Ubed, Juned dan Abdul pun dihukum untuk kesekian kalinya. Ya… mereka bertiga memang sering membuat onar.

 ****
“Kriiing….” Bel di SDN Lebakjaya kembali berbunyi. Kali ini adalah pertanda jam pelajaran di sekolah hari ini sudah selesai alias para siswa dan siswi sudah boleh pulang ke rumah. Semua siswa-siswi bergembira. Kecuali satu orang yaitu Ahmad.
“Bagaimana reaksi ayahku kalau tahu nilai ulangan matematikaku hanya dapat nilai 20? Bagaimana reaksi ayahku setelah tahu kalau anaknya berkelahi?” Batin Ahmad.
Ahmad takut kalau Ayahnya marah kepadanya. Tapi, dia tidak ingin berbohong. Dia harus ceritakan yang sebenar-benarnya. Ahmad berjalan menuju rumahnya sendirian. Dengan luka memar di wajahnya akibat dikeroyok Ubed dan kawan-kawan.
Sesampainya di rumah.
“Assalamu’alaikuum.”
“Wa’alaikum salam. Ahmad, kenapa wajahmu itu nak?”
“Tadi…. Ahmad berkelahi, Yah.”
“Berkelahi?”
“Ceritanya tadi pagi aku……..” Ahmad menceritakan semua yang dialaminya di sekolah tadi kepada ayahnnya. Ayahnya hanya tersenyum mendengar anak satu-satunya itu bercerita sambil meneteskan air mata.
“Ayah…? Kenapa Ayah tersenyum? Aku heran Ayah, selama ini aku berusaha dengan susah payah belajar dengan baik untuk mendapat nilai bagus, tetapi temanku yang tidak belajar itu bisa mendapatkan nilai yang bagus hanya dengan mencontek.
Aku bekerja membantu Ayah untuk mendapatkan uang, tetapi temanku itu bisa mendapatkan uang bannyak dari hasil memalaki teman-teman yang lain.
Aku berusaha mengingatkan temanku yang salah, tetapi aku malah diejek dan dicaci maki.
Aku berusaha menjadi orang yang jujur seperti kata Ibu, tetapi teman-temanku tadi malah menjauhiku.
Kenapa, Yah? Kenapa…?”
Ayahnya terdiam memandangi kedua mata Ahmad yang berkaca-kaca dan mengeluarkan air mata. Ahmad mengingatkannya pada seseorang yang dulu sangat dicintainya, tetapi kini dia sudah tiada yaitu istrinya.
“Mad, besok akan ayah beritahu jawabannya.” Kata ayahnya.

 ****
Besoknya. Minggu pagi. Ahmad diajak oleh ayahnya pergi ke suatu tempat oleh. Dengan membawa perbekalan secukupnya, pagi itu Ahmad dan ayahnya berangkat dengan berjalan kaki.
“Mau kemana kita ini, Yah?”
“Ayah akan membawamu ke suatu tempat yang bagus, Nak. Kamu tidak usah bertanya. Nanti kamu akan lihat sendiri.”
“Oh… Iya.”
Walaupun masih bingung, Ahmad tidak berani bertanya lagi. Dia hanya mengikuti kemana ayahnya berjalan. Menyusuri jalan setapak. Melewati sawah-sawah yang terhampar luas. Lalu melewati jalanan menanjak. Memasuki hutan yang selama ini jarang dimasuki orang.
Setengah jam sudah Ahmad dan Ayahnya berjalan menyusuri hutan. Selama itu mereka banyak menghadapi hambatan dan rintangan. Mulai dari serangga-serangga penggigit yang ganas. Jalanan yang becek dan berlumpur. Adakalanya harus mereka harus memanjat, melompat, menyebrang sungai dan banyak rintangan-rintangan yang lainnya.
Setelah sekian lama berjalan, akhirnya Ahmad dan ayahnya sampai pada suatu tempat yang indah. Tempat itu berada di atas gunung, tetapi bukan di puncaknya. Dari sana cukup jelas terlihat pemandangan Kota Garut yang terkenal indah. Di tempat itu pula terdapat danau kecil yang airnya masih sangat jernih. Di danau  itu Ahmad dan ayahnya memebersihkan kaki dan tangannya. Lalu meraka menggelar tikar dan mengeluarkan perbekalan makanan. Mereka berdua pun makan dengan lahapnya.
Hanya sedikit orang yang mengunjungi  tempat itu selain Ahmad dan ayahnya. Diantara mereka ada beberapa anak seumuran anak SMA yang sedang berkumpul. Mungkin mereka anak-anak pecinta alam. Ada juga beberapa pasangan lelaki dan perempuan yang sedang asik duduk mengobrol sampbil berpegangan tangan. Ada yang asik berfoto-foto, dan sebagainya.
Setelah makan, Ayahnya memulai pembicaraan.
“Mad, kamu senang Ayah ajak ke tempat ini?”
“Iya, Yah. Aku senang ketika sudah sampai di tempat ini. Tempat ini bagus sekali. Tetapi aku tidak suka dengan jalan yang kita lewati tadi. Banyak sekali hambatannya. Apa gak ada jalan lain, Yah?”
“Sebenarnya ada jalan yang sama sekali tidak ada hambatannya. Itu jalan yang umum dilewati orang yang mau kesini. Tetapi ayah sengaja menembawamu ke jalan yang tadi.”
“Kenapa, Yah?”
“Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Ayah ingin kamu tahu kalau perjalanan kita tadi sama seperti perjalanan hidup kita.”
“Maksudnya?”
“Untuk ke tempat ini, kita harus melewati berbagai rintangan dan hambatan. Begitu juga hidup kita. Untuk menjadi orang yang sukses dan berhasil, kita memang terlebih dahulu diberi banyak rintangan, hambatan dan cobaan oleh Allah.
Kemarin kamu bilang kalau kamu diejek dan dijauhi temanmu karena sikapmu. Itulah cobaan, nak. Kamu harus tetap kuat dan sabar. Kamu harus berusaha untuk tidak terpengaruh oleh temanmu yang jelek. Kamu juga harus berusaha belajar dengan sungguh-sungguh. Dengan begitu apa yang kamu cita-citakan pasti akan tercapai.”
“Ohh.. begitu ya, Pak?”
“Iya. Kamu mau berjanji pada ayah kalau kamu nanti akan membanggakan Ayah dan Ibu?”
“Iya Ayah. Aku berjanji aku akan berusaha menjadi orang yang jujur, kuat dan sabar supaya nanti aku bisa jadi orang sukses dan bisa membanggakan Ayah dan Ibu.”
“Bagus. Ibumu pasti bangga melihat kamu seperti ini, Mad.”
“Benarkah Ayah? Walaupun nilai ulanganku 20?”
“Iya. Tentu saja. Karena kamu mengerjakannya dengan jujur dan tidak mencontek.Tetapi lain kali kamu harus belajar dengan lebih giat!”
“Iya Ayah.”
Ahmad tersenyum. Begitu juga Ayahnya. Sementara hari sudah semakin siang dan panas, Ahmad dan ayahnya pun kembali pulang ke rumah. Kali ini lewat jalan yang berbeda.
Hari ini Ahmad mendapatkan pelajaran berharga dari Ayah tercintanya. Sekarang dia tahu bahwa perjalanan menuju kesuksesan itu penuh hambatan dan rintangan yang harus dihadapi dengan usaha sungguh-sungguh dan bersabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar